Lika-liku Kehidupan - 1

Sebut saja aku “Nur”, aku asli orang bermarga batak Hasibuan yang lahir di Medan, Sumatera Utara. Aku sangat menyayangi ibu karena pada saat umurku 5 tahun ayahku sudah tiada dan ibu yang harus cari nafkah buat kami. Dari situ aku mengenal sosok perjuangan ibu yang sangat menginspirasi mampu menghidupi 6 orang anak yang berbeda-beda karakter.

Sabar dan tawakkal, itulah sikap ibu menghadapi perilaku anaknya. Tentu dalam logika, sangat sulit berperan sebagai ibu yang menjadi satu-satunya pemimpin rumah tangga tanpa peran seorang ayah. Membimbing anaknya sekolah, kerja pagi-sore, dan bahkan ibuku kalau tidak ada uang, ibu mencoba meminta pinjaman ke saudara tapi hanya cibiran yang di dapat. Dari situ, aku mulai sadar untuk menaikkan derajat ibuku dengan menuntut ilmu dan kerja keras.

Sekolah Dasar (SD) adalah sekolah pertamaku, kenapa ngga masuk TK (Taman Kanak-kanak) dulu? Karena waktu itu belum punya biaya untuk masuk TK bahkan untuk makan sehari-hari masih susah. Awal masuk SD, aku sangat minder lihat teman-teman kelasku yang di dampingi orangtuanya bahkan anaknya sendiri ditungguin sampai pulang. Aku sangat sedih karena ibu tidak seperti ibu yang lain. Mendampingi, mengajari dan mengatur keperluan sekolahku tidak aku temukan dari ibuku. Aku berpikir untuk tidak mengganggu waktu ibu sebab ibu sudah terlalu capek dengan pekerjan-pekerjaannya.

Awalnya, belajar memang berasa berat bagi ku, karena saya berpikir jika bermain lebih memberi hasil yang mencolok di waktu yang singkat cepat. Berbeda dengan belajar butuh proses lama dan hasilnya pun belum dapat dilihat dalam jangka pendek.Untuk itu ibuku perlu bujukan ekstra dalam menyekolahkan diriku di tingkat SD. Sungguh pemalu di kala itu. Setelah berinteraksi dengan teman-teman baru kepercayaan diri terbangun. Memupuk pikir dengan ilmu asing bagi bocah seusai ku.

Terkadang apa yang membuat kita bahagia adalah ketika kita bersama –sama orang yang kita cintai, kumpul bareng, menceritakan masalah, dan memberikan nasehat hidup. Aku sangat mengingankan hal itu, tapi waktu itu masih polos belum bisa mengucapkan pemikiran-pemikiran itu. Terlalu sulit untuk merenggek meminta waktu ibu untukku. Bahkan aku pernah menangis sejadi-jadinya sebab nilai PR ku sangat rendah dan pernah nilai raportku dapat nilai merah (50) itu membuatku merenung, kenapa bisa nilainya seperti itu.

Hidup ini seakan-akan tidak berhenti untuk berdrama. Tapi satu hal yang ku yakini adalah tidak selamanya hidup yang susah di alami manusia selagi dia mempunyai tekad yang kuat untuk berubah memperbaiki kehidupannya. Itulah sebabnya ibu yang cari nafkah dengan susah payah hingga mencari pinjaman kesana-sini untuk kebutuhan sehari-hari. Hingga untuk mendidik kami dirumah tidak pernah ada waktu untuk mengajari kami. Dengan kebisaan buruk itu aku tidak pernah memikirkan untuk belajar dirumah.

Ketika bangun tidur yang dipikirkan hanya tentang pertemanan dan permainan di dunia luar rumah bersama teman. Sementara saat ini anak-anak telah terkena virus gadget yang membuat mereka terlena dengan digital yang merajai tubuhnya. Hidup anak zaman sekarang jauh berbeda dengan dahulu. Asupan instan selalu menjadi rujukan pertama mereka. Terpental masalah selalu keluh kesah yang terucap dari benaknya. Padahal susah payah adalah kunci generasi kita dalam mengarungi kerasnya hidup di masa depan kelak.

Masa SD-ku tidak terlalu banyak yang kutahu tentang bersikap baik kepada semua orang, aku sendiri mengikuti cara abang aku. Sering marah, membenci bahkan memukuli, itu yang yang aku temukan dalam keluargaku.setidaknya ketika masuk SMP masih ada yang memotivasi aku untuk terus belajar, belajar dan belajar. Tidak lain dia adalah sahabat karibku yang mondok di sebuah pesantren. Tetapi kami tidak satu sekolah, aku di SMP Negeri sedangkan dia di pesantren. Sebab itulah, aku dipertemukan dengannya sebagai perantara untuk bersikap baik dan rajin belajar.

Alhamdulillah, kelas 1 SMP aku mendapatkan juara 1 atas doa dan kerja kerasku kalau bisa menjadi yang terbaik. Karena hal itu, ibuku sangat terharu mendengar kalau aku juara 1. Saking bahagianya, ibu membeli apa saja yang aku mau. Padahal yang ku butuhkan saat itu adalah kasih sayang dan perhatiannya yang ku inginkan tidak lebih. Sampai kelas 3 SMP aku masih bisa mendapatkan juara kelas. Dari situlah ibuku sangat sayang padaku. Ada titik keresahan yang ku pikirkan adalah saat abang dan kakakku berantam karena uang. Aku tidak bisa menyaksikan itu dengan jelas, darah yang keluar dari hidung dan benjolan dimuka kakak membuatku trauma dan takut pada semua orang. Hingga saat itu aku menjadi anak yang pendiam, sulit berteman dan bahkan nilaiku amburadul ketika masuk SMA.

Tidak ada lagi yang mau berteman denganku, karena aku ngga sesuai dengan anggapan mereka. Tidak jago bergaul dan tidak bisa berkomunikasi denfan baik. Frustasi dengan keadaanku hingga aku mudah marah-marah ke diriku sendiri dan membenci atas keadaan yang menimpaku.

(bagian 1….bersambung)